Senin, 01 Desember 2008

AKU ADALAH KADO KASIH SAYANG

Prolog
Tentu masih hangat dalam ingatan kita kelancangan surat kabar Denmark, dengan dalih kebebasan pers menghina junjungan kita Rasulullah SAW dalam bentuk karikatur yang tak sesuai dengan keagungan Rasulullah. Penulis yakin gejolak amarah pun masih belum padam di hati Kaum Muslim di seluruh dunia walau kata maaf sudah dihaturkan.
Pada kesempatan ini, dalam rangka memperingati maulid Nabi ke 1436 marilah kita menarik diri sejenak dari berbagai fitnah yang diciptakan dunia barat. Marilah kita berkaca..benarkah kita sudah layak mengaku sebagai pengikut Rasulullah? Sudah benarkah cara kita mencintai Rasulullah? Apakah kecintaan kita terhadap Rasulullah sudah mampu mewarnai polah tingkah kita sehari-hari? Atau baru sebatas berteriak dan memboikot produk-produk tertentu demi mendengar jungjungan yang dicinta dihina orang? Karena cinta sejati, sebagaimana dideskripsikan al Qur'an adalah al ittiba' (mengikuti) "Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." QS. Al Imron: 31, atau at taqlid (mencontoh) "Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu". (QS. Al Ahzab: 21) Artinya, kita dituntut untuk melakukan apa yang Rasulullah lakukan (tentu saja dalam batas-batas kesanggupan seorang manusia). Bagaimana melakukannya? Marilah kita buka kembali lembar demi lembar kandungan hadits-hadits dan sirah nabawiyah untuk mengenal pribadi jungjungan kita. Karena keterbatasan waktu dan tempat, dalam kesempatan ini cukuplah kita membahas satu dimensi dari kehidupan Rasulullah, sebagai pembawa rahmat bagi siapapun bahkan apapun.

Kasih Sayang Rasulullah terhadap perempuan
Rasulullah lahir di tengah-tengah peradaban jahiliyyah yang hanya memberikan dua alternatif terhadap bayi perempuan sebagaimana digambarkan dalam al Qur'an, terus hidup sebagai simbol kehinaan keluarganya atau dikubur hidup-hidup? (QS. An Nahl 58-59). Dalam kondisi ini, Rasulullah menegaskan bahwa anak perempuan merupakan salah satu kunci surga. (HR. Turmudzi, dan Abu Daud).
Rasulullah tidak hanya memberikan hak hidup kepada seorang bayi perempuan, beliaupun mengakui eksistensi perempuan dalam menentukan jalan hidupnya. Dalam sebuah riwayat Rasulullah mengijinkan seorang perempuan untuk membatalkan pernikahannya yang dilakukan walinya tanpa izinnya. (HR. An Nasai, Abu Daud, dan Ibnu Majah). Karena kasihnya terhadap perempuan Rasulullah menuntun kaum laki-laki untuk memperlakukan istri mereka dengan baik, dalam sebuah statemennya, beliau bersabda: "Orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang terbaik terhadap keluarga." (HR. Turmudzi dan Ibnu Majah). Bahkan dalam haji wada' Rasulullah berwasiat kepada kaum Muslimin untuk memenuhi hak para istri. (HR, Muslim).
Tentu ibu-ibu para pembaca An Nisa mengetahui bahwa masyruiyyah poligami dalam Islam adalah merupakan sebuah alternatif khusus bagi orang-orang khusus. Keadilan merupakan syarat yang tidak dapat dianggap enteng, karenanya untuk melindungi kaum wanita yang dimadu Rasulullah mengancam suami yang mengabaikan salah satu istrinya dengan balasan yang setimpal di hari kiamat kelak. (HR. Turmudzi, An Nasa'I, dan Ibnu Majah).
Sebagai seorang ibu, Rasulullah menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat mulia, riwayat Bukhori Muslim berikut cukuplah sebagai bukti: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: "Ya Rasulullah siapakah yang harus aku perlakukan dengan baik? Rasulullah menjawab: "ibumu" laki-laki itu bertanya kembali: "kemudian siapa lagi?" Rasulullah menjawab: "ibumu" laki-laki itu kembali bertanya: "siapa lagi ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab: "ibumu" laki-laki itu bertanya lagi: "kemudian siapa lagi?" Rasulullah menjawab: "bapakmu".
Dari beberapa riwayat di atas mudah-mudahan para pembaca bisa mendapatkan sedikit gambaran sejauh mana kasih sayang Rasulullah terhadap perempuan sebagai mahluk Allah. Sekaligus dapat membuktikan bahwa emansipasi yang didengungkan Barat sudah digariskan Rasulullah 14 abad yang lalu.

Kasih Sayang Rasulullah terhadap kaum Muslim
Suatu ketika tiga orang sahabat datang mengunjungi Rasulullah ingin menanyakan ibadah Rasulullah. Karena Rasulullah tidak ada di tempat, sayyidah 'Aisyah menceritakan ibadah Rasulullah selama ini. Mendengar cerita sayyidah 'Aisyah tiga sahabat tadi merasa minder dengan apa yang dilakukan Rasulullah. Bagaimanapun Allah telah menjanjikan kepada Rasulullah untuk mengampuni semua dosanya, mengapa Rasulullah masih begitu giat beribadah. Bagaimana dengan mereka yang tidak mendapat jaminan Allah? Maka salah satu di antara mereka ber'azam akan selalu sholat malam dan tak akan pernah tidur, sahabat yang kedua ber'azam akan puasa terus dan tak akan pernah berbuka, yang ketiga ber'azam untuk menjauhi wanita dan tak akan pernah menikah karena ingin konsentrasi beribadah. Apa reaksi Rasulullah ketika tahu apa yang ketiganya 'azamkan? Rasulullah mengingkari apa yang mereka 'azamkan, karena apa yang mereka 'azamkan adalah di luar batas kemampuan manusia. Rasulullah menegaskan kepada mereka bahwa beliau sebagai orang yang paling takwa kepada Allah berpuasa tapi juga berbuka, sholat malam dan tidur, juga mengawini perempuan. (HR. Bukhori Muslim). Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Rasulullah pernah melihat sahabat yang kepayahan berpuasa karena dalam perjalanan, beliaupun bersabda: "bukan merupakan kebaikan berpuasa dalam perjalanan, Allah telah memberi keringanan kepada kalian, maka terimalah keringanan itu."
Demikianlah para pembaca An Nisa, Rasulullah sangat sayang terhadap pengikutnya, tidak rela melihat umatnya kesulitan dalam menjalankan agama Allah. Pun dalam sholat yang merupakan tiang agama, kita diperbolehkan melakukannya sesuai dengan kekuatan kita. Duduk apabila tidak kuat berdiri, bahkan berbaring. Karenanya ketika Rasulullah melihat sayyidah Zainab bintu jahsy sholat dengan tali membentang di antara dua tiang untuk menjadi penyangganya ketika ia lelah, Rasulullah menegurnya: “Barang siapa yang hendak sholat, maka sholatlah sesuai kemampuannya, apabila lelah berdiri, maka duduklah." Kasih terhadap umatnya juga yang membuat beliau menolak keinginan seorang pemuda untuk maju ke medan perang membela agamanya. Karena dalam pandangan Rasulullah, orang tua yang sudah renta sangat membutuhkan kehadiran anaknya, dengan penuh kasih pula Rasulullah menjelaskan bahwa merawat orang tua yang sudah renta sama pahalanya dengan berjihad.

Kasih Sayang Rasulullah terhadap musuh
Adakah di dunia ini yang memperlakukan musuhnya dengan penuh kasih? Jika kita pernah membaca sirah nabawiyah tanpa ragu kita akan mengiyakan. Ya! Rasulullah adalah orang yang penuh kasih terhadap musuh. Ketika ia dilempari batu oleh kaum Tha'if sampai berdarah telapak kakinya, ia menolak tawaran malaikat untuk menghancurkan Tha'if, dengan penuh kasih beliau memohonkan ampun bagi kaum Tho'if dan mencarikan alasan bagi konfrontasi mereka terhadapnya bahwa mereka kaum yang tidak (belum) mengerti kebenaran. Ketika Rasulullah berhasil menduduki kota Mekkah, dimana di antara penduduknya adalah orang yang membunuh pamannya, Hamzah dengan beringas. Didasari dengan rasa kasihnya ia keluarkan statemennya yang masyhur: "pergilah, kalian semua aku bebaskan."
Subhanallah! Begitu besar kasih sayang Rasulullah terhadap umat manusia, musuh sekalipun. Karenanya sangat ironis fenomena yang sering kita dapatkan, adanya orang yang mengibarkan panji Islam setelah melakukah tindakan teror yang mengorbankan nyawa-nyawa dan harta orang sipil tak berdosa, padahal Nabi Islam sendiri selalu mewanti-wanti para sahabatnya ketika berangkat ke medan perang untuk tidak melukai wanita, orang tua, anak kecil, kaum agamawan yang tidak ikut berperang, orang-orang yang dipaksa ikut berperang seperti para petani dan para tukang, tidak merusak rumah dan pertanian atau perkebunan. (HR. Muslim) Lain halnya bangsa barat yang sering melempar batu sembunyi tangan. Memfitnah kaum Muslimin sebagai bangsa teroris, sementara itu dengan terang-terangan mereka melakukan aksi teror di Palestina, Afganistan, Iraq dan negara-negara Muslim yang lain. Na'udzubillah!

Kasih sayang Rasulullah kepada mahluk Allah yang lain
Bukan hanya manusia yang mendapatkan kasih Rasulullah, binatangpun mendapat perhatiannya. Dalam berbagai kesempatan Rasulullah selalu mengingatkan para sahabatnya untuk memperlakukan binatang peliharaan dengan baik, menungganginya dengan baik dan memberinya makan dengan baik. (HR. Abu Daud) Bahkan dalam menyembelihpun Rasulullah memberi petunjuk agar tidak terlalu menyakitkan.

Konsekwensi kaum Muslim
Dari pemaparan di atas, penulis yakin para pembaca sudah cukup puas dengan bukti-bukti kongkrit atas kasih Rasulullah terhadap mahluk Allah, dan hal ini memang sudah ditegaskan Allah dalam Al Qur'an "Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al Anbiyaa: 107) Dalam sebuah riwayat Rasulullah bersabda: "Aku adalah kado kasih sayang." (HR. Ad Darami) Lantas apa konsekwensi kita sebagai orang yang mengaku sebagai umat Muhammad? kita harus menjadi pembawa rahmat bagi orang di sekitar kita. Rahmat bagi kedua orang tua kita dengan jalan mentaati perintah keduanya, menjaga dan mendo'akan keduanya. Seorang Muslim juga harus menjadi rahmat bagi pasangannya seperti halnya pasangan Adam dan Hawa, Muhammad dan Khodijah. Seorang Muslim harus menjadi rahmat bagi putra-putrinya, memberi mereka fasilitas sesuai dengan kemampuannya. Jangan sampai sang anak mengulurkan tangannya pada orang lain. Bukankah sebaik-baiknya harta, adalah harta yang digunakan untuk menafkahi anak? Bagi yang punya pembantu, iapun harus menjadi rahmat buat pembantunya. Memberi pekerjaan dalam batas-batas kemampuannya, dan jangan membedakan makanannya dengan yang kita makan. Sebaliknya seorang pembantu juga harus menjadi rahmat bagi majikannya dengan melakukan pekerjaannya sebaik mungkin. Kita pasti memiliki tetangga bukan? Sangking Jibril sering mengingatkan Rasulullah tentang hak tetangga, sempat terdetik dalam pikiran Rasulullah kemungkinan tetangga menjadi salah satu ahli waris. (HR. Bukhori Muslim) Mengapa Islam begitu memperhatikan hak tetangga? Karena sebagaimana maklum tetangga adalah orang yang paling dekat dengan kita, sehingga mereka mengetahui baik buruknya kita, dan mereka pula orang yang pertama kita minta pertolongannya ketika terjadi sesuatu. Seorang Muslim harus menjadi rahmat bagi tetangganya dengan selalu memenuhi kewajibannya sebelum menuntut haknya.

Epilog
Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa membantu para pembaca untuk menjawab pertanyaan di muka 'Sudahkah kita mencintai Rasulullah dengan cara yang benar?' Apabila jawabannya 'sudah' marilah kita pupuk cinta tersebut agar semakin berkembang dan membuahkan rahmat bagi alam semesta. Apabila jawabannya 'belum', marilah kita bersama-sama ber'azam untuk meluruskan cinta kita. Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala aalihi wa shahbihi wa sallim.




KACANG LUPA KULITNYA


Para salaf shalih lebih memilih juhud sebagai jalan hidupnya ketimbang bergelimang harta. Pun terhadap jabatan, tidak sedikit dari mereka menolak berbagai jabatan. Jikalau ada yang menerima jabatan, tak lain dan tak bukan karena status hukum jabatan tersebut sudah menjadi fardhu ‘ain baginya (suatu pekerjaan yang asalnya fardhu kifayah berubah statusnya menjadi fardhu ‘ain apabila tidak ada orang lain yang mampu melakukannya) Bagi mereka jabatan adalah amanah yang kelak dipertanggung jawabkan di hadapan Allah.
Lain dulu, lain sekarang. Coba luangkan waktu untuk menonton TV atau membaca berita, pasti pembaca akan mendapatkan bagaimana manusia zaman sekarang mengatur strategi, menempuh berbagai cara, halal haram tidak lagi menjadi pertimbangan, untuk mendapatkan jabatan. Karena menurut mereka jabatan tidak lagi identik dengan tanggung jawab, ia merupakan jalan tol menuju kekayaan. Jabatan dan kekayaan adalah dua hal yang paling didambakan anak cucu Adam.
Muhammad SAW tidak pernah melarang umatnya untuk menjadi pejabat yang kaya raya, buktinya beliau acap kali memotivasi umatnya untuk bekerja, misalnya dalam sabda beliau: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya.” Atau dalam sabdanya yang lain beliau menegaskan bahwa “sebaik-baiknya harta adalah harta yang didapatkan dengan usaha sendiri.”
Namun, tidakkah kita ingat, untuk apa Allah menciptakan manusia? “illa liya’budun” (QS. Adz Dzariyat: 56) segala yang kita lakukan di dunia ini harus berangkat dari ayat ini, artinya apa yang kita lakukan di dunia ini harus memiliki dimensi ibadah. Konkritnya, ilmu, harta, jabatan hanyalah merupakan alat bantu agar ibadah kita lebih optimal. Konsekwensinya, ‘alim, hartawan, dan pejabat harus merupakan pioner dalam beramal sholeh, karena mereka memiliki fasilitas yang tidak dimiliki oleh jahil, si miskin dan rakyat jelata. Namun realitanya tidak demikian, ketika anak adam semakin ‘alim, semakin pandai ia beralasan untuk ngeles dari kewajiban, semakin ia berharta dan punya power semakin cinta ia akan apa yang dimilikinya, lupa akan kewajibannya. Ya! Ilmu, harta dan jabatan tidak menjamin orang mau (bukan mampu) beramal sholeh.
Sebagai bukti, penulis memiliki sebuah kisah, tersebutlah di negeri antah berantah, seorang anak adam yang diberi ilmu oleh Allah, sehingga ia berhasil mencapai puncak karir dalam bidangnya, dan memiliki harta yang sudah barang tentu lebih dari nishab. Namun ia enggan berbagi dengan kaumnya yang membutuhkan. Allah begitu cinta kepada hamba-Nya yang satu ini, sehingga diberinya dua tiga kali kesempatan, namun ia tetap menampiknya. Padahal bila kita lihat posisinya yang berada di puncak karir, uang baginya sudah bukan masalah. Intinya, bersedekah baginya hanya tinggal membutuhkan “niat”. Caranya menampik kesempatan yang disodorkan Allah untuk beramal shaleh menuai banyak komentar, terutama dari para mustahiq: “masa sih, duit segitu aja, ndak direlain aja buat para ibnu sabil? Ndak malu apa dengan jabatannya?”
Pembaca, begitulah tabiat manusia yang penuh tipu daya hatta kepada penciptanya sekalipun. Betapa mereka dalam do’a-do’anya memohon agar diberi rizki untuk bisa beribadah kepada-Nya. Namun Setelah mendapat apa yang diinginkan, ia lupa atau pura-pura lupa akan janjinya. Maha benar Allah yang berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (QS. Al Ma’arij: 19-21) Bukankah ini yang terjadi kepada Qarun? Dan apa akibatnya? hingga kini kita masih bisa menyaksikan danau Qarun sebagai akibatnya. Na’udzubillah!!!
Mengapa sekarang kita melihat begitu banyak Qarun di sekeliling kita? Mungkinkah orang tua yang sudah salah kompas? Masih adakah orang tua yang berpesan kepada anaknya apa yang dipesankan ibu Sufyan Ats Tsauri, Imam Bashrah, ketika memulai menuntut ilmu, bahwa: “apabila ilmu yang ia dapat tidak menambah keimanannya kepada Allah, maka ia dinyatakan gagal dalam menuntut ilmu?” Mungkin orang tua sekarang terlalu sibuk menerapkan trik-trik Kiyosaki –dalam buku best sellernya: Rich Dad Poor Dad- untuk mendidik anak-anaknya menjadi para jetset di masanya? (Kiyosaki sendiri menjadikan derma sebagai salah satu kunci mencapai sukses financial; if you want something, you first need to give) Kemudian lupa mengingatkan anak-anaknya bahwa dalam hartanya ada hak orang lain. (QS. Adz Dzariyat: 19)
Tulisan ini hanyalah sebuah renungan seorang ibu, mengajak ibu-ibu yang lain untuk sama-sama mengevaluasi, sudah benarkah cara kita dalam membesarkan dan mendidik anak-anak kita? Sehingga tidak tumbuh dari buaian kita Qarun-Qarun baru…wal ‘iyyadz billah!!!