Senin, 01 Desember 2008

KACANG LUPA KULITNYA


Para salaf shalih lebih memilih juhud sebagai jalan hidupnya ketimbang bergelimang harta. Pun terhadap jabatan, tidak sedikit dari mereka menolak berbagai jabatan. Jikalau ada yang menerima jabatan, tak lain dan tak bukan karena status hukum jabatan tersebut sudah menjadi fardhu ‘ain baginya (suatu pekerjaan yang asalnya fardhu kifayah berubah statusnya menjadi fardhu ‘ain apabila tidak ada orang lain yang mampu melakukannya) Bagi mereka jabatan adalah amanah yang kelak dipertanggung jawabkan di hadapan Allah.
Lain dulu, lain sekarang. Coba luangkan waktu untuk menonton TV atau membaca berita, pasti pembaca akan mendapatkan bagaimana manusia zaman sekarang mengatur strategi, menempuh berbagai cara, halal haram tidak lagi menjadi pertimbangan, untuk mendapatkan jabatan. Karena menurut mereka jabatan tidak lagi identik dengan tanggung jawab, ia merupakan jalan tol menuju kekayaan. Jabatan dan kekayaan adalah dua hal yang paling didambakan anak cucu Adam.
Muhammad SAW tidak pernah melarang umatnya untuk menjadi pejabat yang kaya raya, buktinya beliau acap kali memotivasi umatnya untuk bekerja, misalnya dalam sabda beliau: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya.” Atau dalam sabdanya yang lain beliau menegaskan bahwa “sebaik-baiknya harta adalah harta yang didapatkan dengan usaha sendiri.”
Namun, tidakkah kita ingat, untuk apa Allah menciptakan manusia? “illa liya’budun” (QS. Adz Dzariyat: 56) segala yang kita lakukan di dunia ini harus berangkat dari ayat ini, artinya apa yang kita lakukan di dunia ini harus memiliki dimensi ibadah. Konkritnya, ilmu, harta, jabatan hanyalah merupakan alat bantu agar ibadah kita lebih optimal. Konsekwensinya, ‘alim, hartawan, dan pejabat harus merupakan pioner dalam beramal sholeh, karena mereka memiliki fasilitas yang tidak dimiliki oleh jahil, si miskin dan rakyat jelata. Namun realitanya tidak demikian, ketika anak adam semakin ‘alim, semakin pandai ia beralasan untuk ngeles dari kewajiban, semakin ia berharta dan punya power semakin cinta ia akan apa yang dimilikinya, lupa akan kewajibannya. Ya! Ilmu, harta dan jabatan tidak menjamin orang mau (bukan mampu) beramal sholeh.
Sebagai bukti, penulis memiliki sebuah kisah, tersebutlah di negeri antah berantah, seorang anak adam yang diberi ilmu oleh Allah, sehingga ia berhasil mencapai puncak karir dalam bidangnya, dan memiliki harta yang sudah barang tentu lebih dari nishab. Namun ia enggan berbagi dengan kaumnya yang membutuhkan. Allah begitu cinta kepada hamba-Nya yang satu ini, sehingga diberinya dua tiga kali kesempatan, namun ia tetap menampiknya. Padahal bila kita lihat posisinya yang berada di puncak karir, uang baginya sudah bukan masalah. Intinya, bersedekah baginya hanya tinggal membutuhkan “niat”. Caranya menampik kesempatan yang disodorkan Allah untuk beramal shaleh menuai banyak komentar, terutama dari para mustahiq: “masa sih, duit segitu aja, ndak direlain aja buat para ibnu sabil? Ndak malu apa dengan jabatannya?”
Pembaca, begitulah tabiat manusia yang penuh tipu daya hatta kepada penciptanya sekalipun. Betapa mereka dalam do’a-do’anya memohon agar diberi rizki untuk bisa beribadah kepada-Nya. Namun Setelah mendapat apa yang diinginkan, ia lupa atau pura-pura lupa akan janjinya. Maha benar Allah yang berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (QS. Al Ma’arij: 19-21) Bukankah ini yang terjadi kepada Qarun? Dan apa akibatnya? hingga kini kita masih bisa menyaksikan danau Qarun sebagai akibatnya. Na’udzubillah!!!
Mengapa sekarang kita melihat begitu banyak Qarun di sekeliling kita? Mungkinkah orang tua yang sudah salah kompas? Masih adakah orang tua yang berpesan kepada anaknya apa yang dipesankan ibu Sufyan Ats Tsauri, Imam Bashrah, ketika memulai menuntut ilmu, bahwa: “apabila ilmu yang ia dapat tidak menambah keimanannya kepada Allah, maka ia dinyatakan gagal dalam menuntut ilmu?” Mungkin orang tua sekarang terlalu sibuk menerapkan trik-trik Kiyosaki –dalam buku best sellernya: Rich Dad Poor Dad- untuk mendidik anak-anaknya menjadi para jetset di masanya? (Kiyosaki sendiri menjadikan derma sebagai salah satu kunci mencapai sukses financial; if you want something, you first need to give) Kemudian lupa mengingatkan anak-anaknya bahwa dalam hartanya ada hak orang lain. (QS. Adz Dzariyat: 19)
Tulisan ini hanyalah sebuah renungan seorang ibu, mengajak ibu-ibu yang lain untuk sama-sama mengevaluasi, sudah benarkah cara kita dalam membesarkan dan mendidik anak-anak kita? Sehingga tidak tumbuh dari buaian kita Qarun-Qarun baru…wal ‘iyyadz billah!!!

Tidak ada komentar: